Rabu, 28 Oktober 2009

KANTOR POLISI

Pada suatu hari Fadli mendapat SMS dari Fani, pacarnya. Di SMS tersebut Fani bilang “Yang, skrng aq sdng d kntr polisi, smua bukti n saksi tlh mengarh kpd q, polisi tlh mengintrogasiku, aq takut, stlh bbrp lm akhrny...”. Tanpa berpikir panjang Fadli mengambil motor di garasinya dan langsung tancap gas menuju kantor polisi.

Sampai di kantor polisi, ternyata gadis pujaannya itu sama sekali tak terlihat batang hidungnya. Karena Fadli adalah anak yang sangat pemalu dan lugu, dia tidak berani bertanya kepada pak polisi yang sedang berjaga di kantor tersebut.

Setelah beberapa lama mondar-mandir di tempat tersebut, akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya kepada pak satpam yang sedang jaga di pintu gerbang. “Pak, boleh numpang tanya!, sejak tadi ada gak cewek yang di tahan di kantor ini?”.

“Waduh... saya gak tau mas, di sini saya hanya bertugas untuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dari tempat ini”, jawab pak satpam kepada Fadli.

“Kalau gitu, makasih pak!”, sahut Fadli.

Mendengar jawaban dari pak satpam, Fadli mempunyai inisiatif untuk menelepon pacarnya tersebut. “Hallo... Say, kamu ada dimana?, kucari ke kantor polisi kok gak ada?, gimana keadaan kamu?, katanya kamu ditahan di kantor polisi?”, ucap Fadli dengan sedikit merasa cemas.

Sambil tersenyum dia mencoba menenangkan kekasihnya, “Yang, sekarang aku sedang di rumah, aku baik-baik aja kok!”.

“Terus yang kirim SMS ke aku itu siapa?”, tanya Fadli kepada Fani.

“Oh... SMS itu, kamu pasti belum baca isi semua SMS dariku itu!. baca lagi donk!”, tukas Fani.

Fadli terdiam.

“Udah gitu aja yach... nanti pulsa kamu habis. Udah yach... dah sayaaang...”, Fani kemudian menutup hand phonenya.

Fadli masih bingung!. Lalu dia membuka SMS itu lagi dan membacanya. Beberapa saat kemudian dia tertawa sendiri karena tahu isi lengkap SMS tersebut adalah, “Yang, skrng aq sdng d kntr polisi, smua bukti n saksi tlh mengarh kpd q, polisi tlh mengintrogasiku, aq takut, stlh bbrp lm akhrny aq dpt srt tilang, d srt tu trtls anda dinyatakan bebas krn semua bukti n saksi menyatakan bahwa anda adalah wanita yg cantik menawan hati”.

Dalam hati Fadli berkata “Ternyata aku orang begok yach...!”.

Kalo Kerja Pake Ini

Kerja pake ini Di suatu pinggiran kota, hiduplah seorang nyonya yang cukup (sedikit mampu) dengan pembantunya yang selalu buat masalah.

Suatu hari, pembantu itu memecahkan piring untuk kesekian kalinya... akhirnya nyonya itu memanggil pembantunya sambil memaki berkata," Minah....kamu ini gimana...dasar org goblok, makanya kalau kerja itu jangan pake ini (sambil nunjuk lututnya) tapi pake ini (sambil nunjuk kepalanya, otak-red)...kamu saya pecat.."akhirnya pembantunya pergi...

5 tahun kemudian, di suatu Supermarket..si Nyonya ketemu dengan pembantunya yang dulu tapi dengan pakaian yang mewah dengan banyak perhiasan emas...

Si-nyonya memanggil," Minah, kok kamu sekarang berubah..menjadi kaya...kok bisa????
Si-pembantunya menjawab," makanya Bu, kalau kerja itu jangan pake ini (sambil nunjuk kepalanya, otak-red) tapi pake ini donk (sambil nunjuk dii antara pahanya)...."?#$#@"

Salah Nurunin Resleting

Tumini seorang wanita dewasa pegawai sebuah kantor swasta asing pagi itu mau berangkat kerja dan lagi menunggu bus kota di mulut gang rumahnya. Seperti biasa pakaian yang dikenakan cukup ketat, roknya semi-mini, sehingga bodinya yang seksi semakin kelihatan lekuk likunya.

Bus kota datang, tumini berusaha naik lewat pintu belakang, tapi kakinya kok tidak sampai di tangga bus. Menyadari keketatan roknya, tangan kiri menjulur ke belakang untuk menurunkan sedikit resleting roknya supaya agak longgar.

Tapi, ough, masih juga belum bisa naik. Ia mengulangi untuk menurunkan lagi resleting roknya. Belum bisa naik juga ke tangga bus. Untuk usaha yang ketiga kalinya, belum sampai dia menurunkan lagi resleting roknya, tiba-tiba ada tangan kuat mendorong pantatnya dari belakang sampai Marini terloncat dan masuk ke dalam bus.

Tumini melihat ke belakang ingin tahu siapa yang mendorongnya, ternyata ada pemuda gondrong yang cengar-cengir melihat Tumini.

“Hei, kurang ajar kau. Berani-beraninya nggak sopan pegang-pegang pantat orang!”

Si pemuda menjawab kalem, “Yang nggak sopan itu situ, Mbak. Masak belum kenal aja berani-beraninya nurunin resleting celana gue.”

Telepon dari Ibu

Cerpen: A.S. Laksana


PEREMPUAN itu membaringkan tubuhnya pada kursi panjang di pojok ruangan, di antara peralatan menggambar, jam dinding, botol-botol minuman di atas meja, dan gulungan-gulungan kertas karton yang belum dibereskan. Telinganya mendengar suara kicau burung di belakang rumah. Suaminya tengah menikmati satu permainan di layar komputernya. Permainan baru yang sanggup memaksanya melotot sampai dini hari.

Kepala perempuan itu bertumpu pada tangan kanannya. Tangan kirinya bertengger di atas perut. Ia memejamkan matanya seolah-olah merasakan detak jam di sebelahnya, merasakan angin yang diam di kamar tersebut, merasakan saat yang bergerak. Perempuan itu merasakan apa saja karena malam itu tiba-tiba dia merasa dirinya begitu peka. Pada saat itu ia bahkan mampu menangkap denyut jantung ibunya yang berada ratusan kilometer dari tempatnya berbaring.

Dua minggu yang lalu ibunya menelepon dia dan mengingatkan bahwa sweater-nya ketinggalan. Ini telepon yang pertama setelah sekian lama ia tidak mendengar suara ibunya. Ibunya menanyakan apakah ia perlu mengirimkan sweater tersebut.

"Buat Ibu saja," sahutnya. "Saya masih ada dua lagi."

"Sebetulnya ada juga berkas surat-surat yang harus kukirimkan buatmu. Yang dulu kamu urus itu. Kalau mau bisa kusertakan sekaligus, satu paket," tutur ibunya.

"Surat-suratnya saja dikirim, sweater-nya nggak usah."

"Ya sudah. Kamu sehat, kan, Yun? Cobalah kurangi rokokmu. Terakhir kali di sini, Ibu lihat kau terlalu banyak merokok."

Sweater, surat-surat, rokok! Ah, ibunya membicarakan segala sesuatu yang telah lewat tiga tahun lalu seolah-olah baru terjadi kemarin. Sweater itu ia sudah lupa apa warnanya. Dan ia tidak lagi merokok sejak dua tahun lalu.

Seperti ada seekor serangga yang merambat di jalan darahnya, dan menyelusup ke ulu hati. Ia bertahan dari rasa gatal yang mencakar-cakar emosinya. Apa kabar ibunya?

***

PEREMPUAN itu, ia bernama Yun, kemudian mengalihkan ingatan dari ibunya dan berpikir tentang perjalanan-perjalanan yang pernah dilakukannya. Dua tahun lalu ia melakukan banyak perjalanan ke pedalaman Kalimantan, Irian, Lombok, Sulawesi untuk membikin satu liputan. Tahun ini, ia ingin ke Sumba, tapi belum kesampaian. Perjalanan ke sana mungkin sangat menarik. Tapi kapan ia bisa berangkat? Pekerjaan barunya sebagai orang kantoran tidak pernah memberi kesempatan kepadanya untuk pergi jauh-jauh.

Ia sendiri heran, tiba-tiba memutuskan untuk menjadi orang kantoran. Mungkin karena ia sudah memasuki tiga puluh empat dan membutuhkan kemapanan? Ia tidak pernah yakin sebelumnya bahwa ia bisa betah seharian berada di dalam satu ruangan. Tetapi ternyata ia telah melakukan apa yang ia tak yakin.

Suara komputer yang dimainkan oleh suaminya begitu berisik, mengusir kenangannya tentang perjalanan. Permainan tembak-tembakan yang - ia tidak habis pikir - bisa begitu menyita perhatian suaminya. Ia membuka matanya melihat ke arah lelaki itu.

"Siang tadi datang surat dari Igun," katanya.

"Ia di Hungaria, ya?" tanya suaminya. Mata dan jari-jarinya masih tetap berkonsentrasi penuh pada komputernya.

"Austria."

"Apa katanya?"

"Ia bingung mencari kegiatan yang bisa dilakukannya di luar jam kerja. Yang lainnya persoalan klasik, ia kedinginan di sana. Padahal baru masuk musim gugur. Katanya seperti kalau kita berada di puncak Bromo tanpa sehelai pakaian pun. Eh, kau pernah punya pikiran seperti itu, Do? Naik ke puncak Bromo tanpa sehelai benang pun?"

Malam kian berat dan dingin. Suara anjing melolong di kejauhan. Perempuan itu membayangkan lolong serigala di tengah hutan. Katanya ada juga lolong serigala ketika Kurawa dilahirkan. *) Ia mengelus-elus perutnya yang belakangan mulai terasa mual-mual. Bakal anaknya yang pertama!

Pikirannya meloncat ke hal lain. Hup! Hidup sering dirasakannya sebagai sebuah fait accompli. Seperti roda yang berputar, seperti jarum jam yang selalu kembali ke angka dua belas, ia terus berjalan dan menikung-nikung di lorong-lorong untuk tiba kembali pada sebuah keadaan tanpa pilihan.

Si lelaki mengakhiri sementara permainannya. Ia masuk ke dapur dan keluar lagi dengan secangkir kopi. Lelaki itu selalu membikin kopi untuk dirinya sendiri. Ya, harus ia sendiri yang membikinnya, karena ia tidak bisa mempercayakannya kepada istrinya. Perempuan itu tidak pernah bisa membikin kopi tanpa gula. Menurut istrinya, kopi itu baru bisa dinikmati ketika dicampur dengan gula. Lelaki itu tidak berpendapat demikian. Ia selalu minum kopi tanpa gula.

"Tahu apa yang barusan berkelebat dalam pikiranku, Do?" si perempuan menerkam suaminya dengan pertanyaan sebelum lelaki itu menghadapi layar komputernya lagi.

"Apa?"

"Hidup adalah fait accompli. Lucu, ya? Tiba-tiba saja aku berpikiran seperti itu."

"Kupikir tidak selalu demikian."

"Entahlah. Aku sudah bilang tadi, tiba-tiba saja pikiran itu yang melintas. Aku cuma teringat pada Igun, teringat pada istrinya. Kubayangkan mereka sangat kesepian. Begitu habis menikah, langsung ke luar negeri meninggalkan pergaulan yang akrab dengan teman-teman di sini."

"Kau sendiri bilang itu pilihan mereka. Tidak ada fait accompli dalam kasus ini."

"Maksudku setelah di sana, mereka tak punya pilihan kecuali terus-menerus merasa kangen. Tapi entahlah..."

"Tak ada pilihan kecuali merasa kangen. Wah kau berpikir seperti orang abad pertengahan."

"Apa yang dipikir orang abad pertengahan?"

"Mangan ora mangan asal kumpul."

"Ada satu lagi yang tiba-tiba berkelebat, Do. Kadang-kadang kupikir kau sangat brengsek. "

Perempuan itu masih belum mau melepas anggapannya, ia tetap berpikir bahwa Igun pasti kesepian. Apalagi istrinya. Di negeri orang, tak banyak kenal tetangga, dan hanya menjadi ibu rumah tangga. Duh! Waktu bisa menjadi sangat menyiksa. Angin yang menggigit. Gedung-gedung. Dan kesendirian.

Tapi betulkah demikian? Ia hampir tersenyum sendiri. Kenapa pula ia bersikeras dengan anggapan bahwa Igun dan istrinya pasti menderita kesepian?

"He, aku ingat ini, Do," mendadak ia seperti menemukan sesuatu yang menyenangkan. "Waktu aku ke Kalimantan dengan Igun dua tahun lalu - eh, kau dengar aku, kan? - kau begitu cemburu waktu itu."

Suaminya hanya melenguh. Ia tidak tahu mau menjawab apa.

"Kau jelek sekali waktu itu," lanjut si perempuan.

"Karena kupikir kau begitu asyik dengan dirimu sendiri dan mulai melupakan aku."

"Aku jengkel sekali, kau lihat. Bagaimana mungkin kau bisa tidak percaya padaku?"

***

KEDUA suami-istri itu, mereka menikah dan direkatkan bukan oleh persamaan-persamaan di antara mereka. Keduanya diikat oleh satu perbedaan. Ini yang tiga tahun lalu menyebabkan ketidaksetujuan pada orangtua kedua belah pihak. Dan seperti dua ekor kuda yang menjadi beringas, mereka melompati pagar kandang mereka. Menerjang apa saja. Lari ke padang rumput yang terbuka, di mana mereka menjadi tuan atas percintaan mereka. Mereka tinggalkan keluarga, karena mereka percaya bisa saling membela. Hanya mereka berdua, dan itu cukup.

"Kau tahu, Yun, semula kupikir bisa sangat gampang meninggalkanmu," tutur suaminya suatu hari. "Karena kau beragama lain. Ini yang tadinya akan kujadikan alasan untuk suatu saat lari dari kamu, yaitu bahwa kita tidak mungkin dipersatukan."

"Bagaimana kau bisa mengidap pikiran yang begitu jelek?"

Tapi, begitulah, perjodohan ternyata bisa dimulai bahkan dari satu pikiran yang jelek. Perempuan itu tidak bisa membaca skenario yang direncanakan oleh si lelaki. Ia mengira kawan lelakinya serius mencintai dirinya, karena itu ia cukup melakukan segala sesuatu yang bisa mengimbangi "cinta" yang ditunjukkan kawan lelakinya. Dan si lelaki - terbukti kemudian - tidak bisa dengan gampang mengerjakan apa yang direncanakannya. Lalu mereka menikah di tengah hantaman badai dari dua keluarga.

"Jadi bagaimana kau bisa tidak percaya padaku?"

Karena ketika itu Yun memang terlalu banyak ditugaskan ke pedalaman dan selalu bersama Igun. Bagaimana aku tidak cemburu? Si lelaki memprotes dalam hati. Pedalaman begitu romantis. Jejak yang ditinggalkannya akan membekas sangat kuat. O, aku percaya kepada istriku. Tetapi benci membayangkan ada setan yang selalu mengikuti perjalanannya; aku benci pada godaan setan itu.

Lelaki itu mendekat ke arah istrinya. Langkah kakinya terasa sangat ringan. Disentuhnya perut istrinya seperti ingin mengambil sebagian rasa mual-mual yang dirasai istrinya. Ia ingin berbagi rasa mual itu, yang disebabkan oleh bakal bayi mereka. Anak pertama mereka. O, tidak! Sesungguhnya ini anak mereka yang kedua. Mereka kehilangan yang pertama karena perempuan itu keguguran tahun lalu pada saat ia ditugasi melakukan perjalanan ke luar kota.

"Kita helum punya nama, Do."

" Sudah. "

"Maksudku aku belum punya."

"Kupikir kita pakai nama kakaknya saja."

"Kau malas berpikir. Tapi itu pun boleh."

Lolong anjing di luar itu masih kedengaran.

"Aku tidak ingin mendengar lolong anjing ketika melahirkan anak kita nanti," gumam si perempuan.

"Kau akan melahirkan di rumah sakit."

"Tentu saja. Tapi aku bilang aku tidak ingin mendengar lolong anjing. Tidak ingin! Sebab bisa saja lolong itu terdengar di telingaku sekalipun anjingnya tak ada."

Di matanya, perempuan itu membayangkan Kurawa. Ia tidak ingin kelak anaknya lahir sebagai Kurawa. Ia ingin anaknya lahir sebagai satu kehangatan yang mengantarkan musim semi kepada kelopak bunga-bunga.**)

***

TELEPON berdering dan mendadak Yun diserang rasa mual di perutnya. Suaminya mengangkat gagang telepon. Yun bergegas ke wastafel seraya berharap mudah-mudahan itu telepon dari ibunya lagi. Dua minggu lalu waktunya juga seperti sekarang ini ketika ibunya menelepon. Apakah janin dalam kandungannya ini yang memanggil-manggil neneknya?

"Yun! Dari ibu!" seru suaminya. Yun seperti terbang dari wastafel dan menyergap gagang telepon dari tangan suaminya.

"Eh, Yun, kau sudah bisa bikin kue bolu?" tanya ibunya dari seberang. "Dulu kau pernah menanyakannya ke ibu, kan?"

Kue bolu!

Ini juga sudah lewat ber-tahun-tahun. Dan ia bahkan sudah tidak ingat kapan persisnya ia mengajukan pertanyaan itu kepada ibunya. Tapi malam itu ia bahagia. Anaknya memiliki seorang nenek. Pada saatnya nanti, ia akan bisa menceritakan kepada anaknya tentang neneknya --sebuah akar dari mana pohon keluarga mendapatkan kekuatannya-- yang suka menanyakan hal-hal yang sudah berlalu bertahun-tahun.***

Catatan:
*) Dari sajak Goenawan Mohamad berjudul Penangkapan Sukra.
**) Dari sebuah puisi pada undangan perkawinan.


Cerpen ini dimuat pertama kali di Kompas Minggu, 14 Januari 1996.

Telepon dari Ibu

Cerpen: A.S. Laksana


PEREMPUAN itu membaringkan tubuhnya pada kursi panjang di pojok ruangan, di antara peralatan menggambar, jam dinding, botol-botol minuman di atas meja, dan gulungan-gulungan kertas karton yang belum dibereskan. Telinganya mendengar suara kicau burung di belakang rumah. Suaminya tengah menikmati satu permainan di layar komputernya. Permainan baru yang sanggup memaksanya melotot sampai dini hari.

Kepala perempuan itu bertumpu pada tangan kanannya. Tangan kirinya bertengger di atas perut. Ia memejamkan matanya seolah-olah merasakan detak jam di sebelahnya, merasakan angin yang diam di kamar tersebut, merasakan saat yang bergerak. Perempuan itu merasakan apa saja karena malam itu tiba-tiba dia merasa dirinya begitu peka. Pada saat itu ia bahkan mampu menangkap denyut jantung ibunya yang berada ratusan kilometer dari tempatnya berbaring.

Dua minggu yang lalu ibunya menelepon dia dan mengingatkan bahwa sweater-nya ketinggalan. Ini telepon yang pertama setelah sekian lama ia tidak mendengar suara ibunya. Ibunya menanyakan apakah ia perlu mengirimkan sweater tersebut.

"Buat Ibu saja," sahutnya. "Saya masih ada dua lagi."

"Sebetulnya ada juga berkas surat-surat yang harus kukirimkan buatmu. Yang dulu kamu urus itu. Kalau mau bisa kusertakan sekaligus, satu paket," tutur ibunya.

"Surat-suratnya saja dikirim, sweater-nya nggak usah."

"Ya sudah. Kamu sehat, kan, Yun? Cobalah kurangi rokokmu. Terakhir kali di sini, Ibu lihat kau terlalu banyak merokok."

Sweater, surat-surat, rokok! Ah, ibunya membicarakan segala sesuatu yang telah lewat tiga tahun lalu seolah-olah baru terjadi kemarin. Sweater itu ia sudah lupa apa warnanya. Dan ia tidak lagi merokok sejak dua tahun lalu.

Seperti ada seekor serangga yang merambat di jalan darahnya, dan menyelusup ke ulu hati. Ia bertahan dari rasa gatal yang mencakar-cakar emosinya. Apa kabar ibunya?

***

PEREMPUAN itu, ia bernama Yun, kemudian mengalihkan ingatan dari ibunya dan berpikir tentang perjalanan-perjalanan yang pernah dilakukannya. Dua tahun lalu ia melakukan banyak perjalanan ke pedalaman Kalimantan, Irian, Lombok, Sulawesi untuk membikin satu liputan. Tahun ini, ia ingin ke Sumba, tapi belum kesampaian. Perjalanan ke sana mungkin sangat menarik. Tapi kapan ia bisa berangkat? Pekerjaan barunya sebagai orang kantoran tidak pernah memberi kesempatan kepadanya untuk pergi jauh-jauh.

Ia sendiri heran, tiba-tiba memutuskan untuk menjadi orang kantoran. Mungkin karena ia sudah memasuki tiga puluh empat dan membutuhkan kemapanan? Ia tidak pernah yakin sebelumnya bahwa ia bisa betah seharian berada di dalam satu ruangan. Tetapi ternyata ia telah melakukan apa yang ia tak yakin.

Suara komputer yang dimainkan oleh suaminya begitu berisik, mengusir kenangannya tentang perjalanan. Permainan tembak-tembakan yang - ia tidak habis pikir - bisa begitu menyita perhatian suaminya. Ia membuka matanya melihat ke arah lelaki itu.

"Siang tadi datang surat dari Igun," katanya.

"Ia di Hungaria, ya?" tanya suaminya. Mata dan jari-jarinya masih tetap berkonsentrasi penuh pada komputernya.

"Austria."

"Apa katanya?"

"Ia bingung mencari kegiatan yang bisa dilakukannya di luar jam kerja. Yang lainnya persoalan klasik, ia kedinginan di sana. Padahal baru masuk musim gugur. Katanya seperti kalau kita berada di puncak Bromo tanpa sehelai pakaian pun. Eh, kau pernah punya pikiran seperti itu, Do? Naik ke puncak Bromo tanpa sehelai benang pun?"

Malam kian berat dan dingin. Suara anjing melolong di kejauhan. Perempuan itu membayangkan lolong serigala di tengah hutan. Katanya ada juga lolong serigala ketika Kurawa dilahirkan. *) Ia mengelus-elus perutnya yang belakangan mulai terasa mual-mual. Bakal anaknya yang pertama!

Pikirannya meloncat ke hal lain. Hup! Hidup sering dirasakannya sebagai sebuah fait accompli. Seperti roda yang berputar, seperti jarum jam yang selalu kembali ke angka dua belas, ia terus berjalan dan menikung-nikung di lorong-lorong untuk tiba kembali pada sebuah keadaan tanpa pilihan.

Si lelaki mengakhiri sementara permainannya. Ia masuk ke dapur dan keluar lagi dengan secangkir kopi. Lelaki itu selalu membikin kopi untuk dirinya sendiri. Ya, harus ia sendiri yang membikinnya, karena ia tidak bisa mempercayakannya kepada istrinya. Perempuan itu tidak pernah bisa membikin kopi tanpa gula. Menurut istrinya, kopi itu baru bisa dinikmati ketika dicampur dengan gula. Lelaki itu tidak berpendapat demikian. Ia selalu minum kopi tanpa gula.

"Tahu apa yang barusan berkelebat dalam pikiranku, Do?" si perempuan menerkam suaminya dengan pertanyaan sebelum lelaki itu menghadapi layar komputernya lagi.

"Apa?"

"Hidup adalah fait accompli. Lucu, ya? Tiba-tiba saja aku berpikiran seperti itu."

"Kupikir tidak selalu demikian."

"Entahlah. Aku sudah bilang tadi, tiba-tiba saja pikiran itu yang melintas. Aku cuma teringat pada Igun, teringat pada istrinya. Kubayangkan mereka sangat kesepian. Begitu habis menikah, langsung ke luar negeri meninggalkan pergaulan yang akrab dengan teman-teman di sini."

"Kau sendiri bilang itu pilihan mereka. Tidak ada fait accompli dalam kasus ini."

"Maksudku setelah di sana, mereka tak punya pilihan kecuali terus-menerus merasa kangen. Tapi entahlah..."

"Tak ada pilihan kecuali merasa kangen. Wah kau berpikir seperti orang abad pertengahan."

"Apa yang dipikir orang abad pertengahan?"

"Mangan ora mangan asal kumpul."

"Ada satu lagi yang tiba-tiba berkelebat, Do. Kadang-kadang kupikir kau sangat brengsek. "

Perempuan itu masih belum mau melepas anggapannya, ia tetap berpikir bahwa Igun pasti kesepian. Apalagi istrinya. Di negeri orang, tak banyak kenal tetangga, dan hanya menjadi ibu rumah tangga. Duh! Waktu bisa menjadi sangat menyiksa. Angin yang menggigit. Gedung-gedung. Dan kesendirian.

Tapi betulkah demikian? Ia hampir tersenyum sendiri. Kenapa pula ia bersikeras dengan anggapan bahwa Igun dan istrinya pasti menderita kesepian?

"He, aku ingat ini, Do," mendadak ia seperti menemukan sesuatu yang menyenangkan. "Waktu aku ke Kalimantan dengan Igun dua tahun lalu - eh, kau dengar aku, kan? - kau begitu cemburu waktu itu."

Suaminya hanya melenguh. Ia tidak tahu mau menjawab apa.

"Kau jelek sekali waktu itu," lanjut si perempuan.

"Karena kupikir kau begitu asyik dengan dirimu sendiri dan mulai melupakan aku."

"Aku jengkel sekali, kau lihat. Bagaimana mungkin kau bisa tidak percaya padaku?"

***

KEDUA suami-istri itu, mereka menikah dan direkatkan bukan oleh persamaan-persamaan di antara mereka. Keduanya diikat oleh satu perbedaan. Ini yang tiga tahun lalu menyebabkan ketidaksetujuan pada orangtua kedua belah pihak. Dan seperti dua ekor kuda yang menjadi beringas, mereka melompati pagar kandang mereka. Menerjang apa saja. Lari ke padang rumput yang terbuka, di mana mereka menjadi tuan atas percintaan mereka. Mereka tinggalkan keluarga, karena mereka percaya bisa saling membela. Hanya mereka berdua, dan itu cukup.

"Kau tahu, Yun, semula kupikir bisa sangat gampang meninggalkanmu," tutur suaminya suatu hari. "Karena kau beragama lain. Ini yang tadinya akan kujadikan alasan untuk suatu saat lari dari kamu, yaitu bahwa kita tidak mungkin dipersatukan."

"Bagaimana kau bisa mengidap pikiran yang begitu jelek?"

Tapi, begitulah, perjodohan ternyata bisa dimulai bahkan dari satu pikiran yang jelek. Perempuan itu tidak bisa membaca skenario yang direncanakan oleh si lelaki. Ia mengira kawan lelakinya serius mencintai dirinya, karena itu ia cukup melakukan segala sesuatu yang bisa mengimbangi "cinta" yang ditunjukkan kawan lelakinya. Dan si lelaki - terbukti kemudian - tidak bisa dengan gampang mengerjakan apa yang direncanakannya. Lalu mereka menikah di tengah hantaman badai dari dua keluarga.

"Jadi bagaimana kau bisa tidak percaya padaku?"

Karena ketika itu Yun memang terlalu banyak ditugaskan ke pedalaman dan selalu bersama Igun. Bagaimana aku tidak cemburu? Si lelaki memprotes dalam hati. Pedalaman begitu romantis. Jejak yang ditinggalkannya akan membekas sangat kuat. O, aku percaya kepada istriku. Tetapi benci membayangkan ada setan yang selalu mengikuti perjalanannya; aku benci pada godaan setan itu.

Lelaki itu mendekat ke arah istrinya. Langkah kakinya terasa sangat ringan. Disentuhnya perut istrinya seperti ingin mengambil sebagian rasa mual-mual yang dirasai istrinya. Ia ingin berbagi rasa mual itu, yang disebabkan oleh bakal bayi mereka. Anak pertama mereka. O, tidak! Sesungguhnya ini anak mereka yang kedua. Mereka kehilangan yang pertama karena perempuan itu keguguran tahun lalu pada saat ia ditugasi melakukan perjalanan ke luar kota.

"Kita helum punya nama, Do."

" Sudah. "

"Maksudku aku belum punya."

"Kupikir kita pakai nama kakaknya saja."

"Kau malas berpikir. Tapi itu pun boleh."

Lolong anjing di luar itu masih kedengaran.

"Aku tidak ingin mendengar lolong anjing ketika melahirkan anak kita nanti," gumam si perempuan.

"Kau akan melahirkan di rumah sakit."

"Tentu saja. Tapi aku bilang aku tidak ingin mendengar lolong anjing. Tidak ingin! Sebab bisa saja lolong itu terdengar di telingaku sekalipun anjingnya tak ada."

Di matanya, perempuan itu membayangkan Kurawa. Ia tidak ingin kelak anaknya lahir sebagai Kurawa. Ia ingin anaknya lahir sebagai satu kehangatan yang mengantarkan musim semi kepada kelopak bunga-bunga.**)

***

TELEPON berdering dan mendadak Yun diserang rasa mual di perutnya. Suaminya mengangkat gagang telepon. Yun bergegas ke wastafel seraya berharap mudah-mudahan itu telepon dari ibunya lagi. Dua minggu lalu waktunya juga seperti sekarang ini ketika ibunya menelepon. Apakah janin dalam kandungannya ini yang memanggil-manggil neneknya?

"Yun! Dari ibu!" seru suaminya. Yun seperti terbang dari wastafel dan menyergap gagang telepon dari tangan suaminya.

"Eh, Yun, kau sudah bisa bikin kue bolu?" tanya ibunya dari seberang. "Dulu kau pernah menanyakannya ke ibu, kan?"

Kue bolu!

Ini juga sudah lewat ber-tahun-tahun. Dan ia bahkan sudah tidak ingat kapan persisnya ia mengajukan pertanyaan itu kepada ibunya. Tapi malam itu ia bahagia. Anaknya memiliki seorang nenek. Pada saatnya nanti, ia akan bisa menceritakan kepada anaknya tentang neneknya --sebuah akar dari mana pohon keluarga mendapatkan kekuatannya-- yang suka menanyakan hal-hal yang sudah berlalu bertahun-tahun.***

Catatan:
*) Dari sajak Goenawan Mohamad berjudul Penangkapan Sukra.
**) Dari sebuah puisi pada undangan perkawinan.


Cerpen ini dimuat pertama kali di Kompas Minggu, 14 Januari 1996.

Selasa, 27 Oktober 2009

Cinta Sejati Seorang Ibu Terhadap Anak-anaknya

Wanita itu sudah tua, namun semangat perjuangannya tetap menyala seperti wanita yang masih muda. Setiap tutur kata yang dikeluarkannya selalu menjadi pendorong orang disekitarnya. Maklumlah, ia memang seorang penyair dua zaman, maka tidak kurang pula bercakap dalam bentuk syair. Al-Khansa bin Amru, demikianlah nama wanita itu. Dia merupakan wanita yang terkenal cantik dan pandai di kalangan orang Arab. Dia pernah bersyair mengenang kematian saudaranya yang bernama Sakhr :

"Setiap mega terbit, dia mengingatkan aku pada Sakhr, malang. Aku pula masih teringatkan dia setiap mega hilang di ufuk barat Kalaulah tidak kerana terlalu ramai orang menangis di sampingku ke atas mayat-mayat mereka, nescaya aku bunuh diriku."

Setelah Khansa memeluk Islam, keberanian dan kepandaiannya bersyair telah digunakan untuk menyemarakkan semangat para pejuang Islam. Ia mempunyai empat orang putera yang kesemuanya diajar ilmu bersyair dan dididik berjuang dengan berani. Kemudian puteranya itu telah diserahkan untuk berjuang demi kemenangan dan kepentingan Islam. Khansa telah mengajar anaknya sejak kecil lagi agar jangan takut menghadapi peperangan dan cobaan.

Pada tahun 14 Hijrah, Khalifah Umar Ibnul Khattab menyediakan satu pasukan tempur untuk menentang Farsi. Semua muslimin dari berbagai kabilah telah dikerahkan untuk menuju ke medan perang, maka terkumpullah seramai 41,000 orang tentara.

Khansa telah mengerahkan keempat-empat puteranya agar ikut mengangkat senjata dalam perang suci itu. Khansa sendiri juga ikut ke medan perang dalam kumpulan pasukan wanita yang bertugas merawat dan menaikkan semangat pejuan tentera Islam.

Dengarlah nasihat Khansa kepada putera-puteranya yang sebentar lagi akan ke medan perang, "Wahai anak-anakku! Kamu telah memilih Islam dengan rela hati. Kemudian kamu berhijrah dengan sukarela pula. Demi Allah, yang tiada tuhan selain Dia, sesungguhnya kamu sekalian adalah putera-putera dari seorang lelaki dan seorang wanita. Aku tidak pernah mengkhianati ayahmu, aku tidak pernah memburuk-burukkan saudaramu, aku tidak pernah merendahkan keturunan kamu, dan aku tidak pernah mengubah perhubungan kamu. Kamu telah tahu pahala yang disediakan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam memerangi kaum kafir itu. Ketahuilah bahwasaya kampung yang kekal itu lebih baik daripada kampung yang binasa."

Kemudian Khansa membacakan satu ayat dari surah Ali Imran yang bermaksud, "Wahai orang yang beriman! Sabarlah, dan sempurnakanlah kesabaran itu, dan teguhkanlah kedudukan kamu, dan patuhlah kepada Allah, moga-moga menjadi orang yang beruntung." Putera-putera Khansa tertunduk khusyuk mendengar nasihat bunda yang disayanginya.

Seterusnya Khansa berkata, "Jika kalian bangun esok pagi, insya Allah dalam keadaan selamat, maka keluarlah untuk berperang dengan musuh kamu. Gunakanlah semua pengalamanmu dan mohonlah pertolongan dari Allah. Jika kamu melihat api pertempuran semakin hebat dan kamu dikelilingi oleh api peperangan yang sedang bergejolak, masuklah kamu ke dalamnya. Dan dapatkanlah puncanya ketika terjadi perlagaan pertempurannya, semoga kamu akan berjaya mendapat balasan di kampung yang abadi, dan tempat tinggal yang kekal."

Subuh esoknya semua tentera Islam sudah berada di tikar sembahyang masing-masing untuk mengerjakan perintah Allah yaitu solat Subuh, kemudian berdoa moga-moga Allah memberikan mereka kemenangan atau syurga. Kemudian Saad bin Abu Waqas panglima besar Islam telah memberikan arahan agar bersiap-sedia. Perang satu lawan satu pun bermula dua hari. Pada hari ketiga bermulalah pertempuran besar-besaran. 41,000 orang tentera Islam melawan tentera Farsi yang berjumlah 200,000 orang. Pasukan Islam mendapat tentangan hebat, namun mereka tetap yakin akan pertolongan Allah.

Putera-putera Khansa maju untuk merebut peluang memasuki syurga. Berkat dorongan dan nasihat dari bundanya, mereka tidak sedikit pun berasa takut. Sambil mengibas-ngibaskan pedang, salah seorang dari mereka bersyair, "Hai saudara-saudaraku! Ibu tua kita yang banyak pengalaman itu, telah memanggil kita semalam dan membekalkan nasihat. Semua mutiara yang keluar dari mulutnya berfaedah. Insya Allah akan kita buktikan sedikit masa lagi."

Kemudian ia maju menetak setiap musuh yang datang. Seterusnya disusul pula oleh anak kedua maju dan menentang setiap musuh. Dengan semangat yang berapi-api ia bersyair :

"Demi Allah! Kami tidak akan melanggar nasihat dari ibu tua kami Nasihatnya wajib ditaati dengan ikhlas dan rela hati Segeralah bertempur, segeralah bertarung dan menggempur musuh-musuh bersama-sama sehingga kau lihat keluarga Kaisar musnah."

Anak Khansa yang ketiga pula segera melompat dengan beraninya dan bersyair :

"Sungguh ibu tua kami kuat keazamannya, tetap tegas tidak goncang Beliau telah menggalakkan kita agar bertindak cekap dan berakal cemerlang Itulah nasihat seorang ibu tua yang mengambil berat terhadap anak-anaknya sendiri Mari! Segera memasuki medan tempur dan segeralah untuk mempertahankan diri Dapatkan kemenangan yang bakal membawakegembiraan di dalam hati Atau tempuhlah kematian yang bakal mewarisi kehidupan yang abadi."

Akhir sekali anak keempat menghunus pedang dan melompat menyusul abang-abangnya. Untuk menaikkan semangatnya ia pun bersyair : "Bukanlah aku putera Khansa', bukanlah aku anak jantan Dan bukanlah pula kerana 'Amru yang pujiannya sudah lama terkenal Kalau aku tidak membuat tentara asing yang berkelompok-kelompok itu terjun ke jurang bahaya, dan musnah oleh senjataku."

Bergelutlah keempat-empat putera Khansa dengan tekad bulat untuk mendapatkan syurga diiringi oleh doa munajat bundanya yang berada di garis belakang. Pertempuran terus hebat. Tentera Islam pada mulanya kebingungan dan kacau kerana pada mulanya tentera Farsi menggunakan tentera bergajah di barisan hadapan, sementara tentera berjalan kaki berlindung di belakang binatang itu.

Namun tentera Islam dapat mencederakan gajah-gajah itu dengan memanah mata dan bahagian-bahagian lainnya. Gajah yang cedera itu marah dengan menghempaskan tuan yang menungganginya, memijak-mijak tentera Farsi yang lainnya. Kesempatan ini digunakan oleh pihak Islam untuk memusnahkan mereka. Panglima perang bermahkota Farsi dapat dipenggal kepalanya, akhirnya mereka lari lintang-pukang menyeberangi sungai dan dipanah oleh pasukan Islam hingga air sungai menjadi merah. Pasukan Farsi kalah, dari 200,000 tenteranya hanya sebahagian kecil saja yang dapat menyelamatkan diri.

Umat Islam lega. Kini mereka mengumpul dan mengira tentera Islam yang gugur. Ternyata yang beruntung menemui syahid di medan Kadisia itu berjumlah lebih kurang 7,000 orang. Dan daripada 7,000 orang syuhada itu terbujur empat orang adik-beradik Khansa. Seketika itu juga ramailah tentera Islam yang datang menemui Khansa memberitahukan bahwa keempat-empat anaknya telah menemui syahid. Al-Khansa menerima berita itu dengan tenang, gembira dan hati tidak bergoncang. Al-Khansa terus memuji Allah dengan ucapan :

"Segala puji bagi Allah, yang telah memuliakanku dengan mensyahidkan mereka, dan aku mengharapkan dari Tuhanku, agar Dia mengumpulkan aku dengan mereka di tempat tinggal yang kekal dengan rahmat-Nya!"

Al-Khansa kembali semula ke Madinah bersama para perajurit yang masih hidup dengan meninggalkan mayat-mayat puteranya di medan pertempuran Kadisia. Dari peristiwa peperanan itu pula wanita penyair ini mendapat gelaran kehormatan 'Ummu syuhada yang artinya ibu kepada orang-orang yang mati syahid."

sumber : 1001 KisahTeladan.hlp by Heksa

Anak Yang Membangkang Perintah Ayahnya

Ketika Rasulullah S.A.W memanggil kaum Muslimin yang mampu berperang untuk terjun ke gelanggang perang Badar, terjadi dialog menarik antara Saad bin Khaitsamah dengan ayahnya yakni Khaitsamah. Dalam masa-masa itu panggilan seperti itu tidak terlalu mengherankan. Kaum Muslimin sudah tidak merasa asing bila dipanggil untuk membela agama Allah dan jihad fisabilillah. Sebab itu Khaitsamah berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, aku akan keluar untuk berperang dan kau tinggal di rumah menjaga wanita dan anak-anak."

"Wahai ayahku, demi Allah janganlah berbuat seperti itu, kerana keinginanku untuk memerangi mereka lebih besar daripada keinginanmu. Engkau telah berkepentingan untuk tinggal di rumah, maka izinkanlah aku keluar dan tinggallah engkau di sini, wahai ayahku."

Khaitsamah marah dan berkata kepada anaknya, "Kau membangkang dan tidak mentaati perintahku."

Saad menjawab, "Allah mewajibkan aku berjihad dan Rasulullah memanggilku untuk berangkat berperang. Sedangkan engkau meminta sesuatu yang lain padaku, sehingga bagaimana engkau rela melihat aku taat padamu tetapi aku menentang Allah dan Rasulullah."

Maka Khaitsamah berkata, "Wahai anakku, apabila ada antara kita harus ada yang berangkat satu orang baik kau mahupun aku, maka dahulukan aku untuk berangkat."

Saad menjawab, " Demi Allah wahai ayahku, kalau bukan masalah syurga, maka aku akan mendahulukanmu."

Khaitsamah tidak rela kecuali melalui undian antara dia dan anaknya sehingga terasa lebih adil. Hasil undian menunjukkan bahwa Saadlah yang harus turun ke medan perang. Dia pun turun ke medan Badar dan mati syahid.

Setelah itu Khaitsamah berangkat menuju medan pertempuran. Tetapi Rasulullah tidak mengizinkannya. Hanya saja Rasulullah akhirnya mengizinkannya setelah Khaitsamah berkata sambil menangis, " Wahai Rasulullah, aku sekali terjun dalam perang Badar. Lantaran inginnya aku harus mengadakan undian dengan anakku. Tetapi itu dimenangkannya sehingga dia yang mendapat mati syahid. Kemarin aku bermimpi di mana di dalamnya anakku itu berkata kepadaku, "Engkau harus menemani kami di syurga, dan aku telah menerima janji Allah. Wahai Rasulullah, demi Allah aku rindu untuk menemaninya di syurga. Usiaku telah lanjut dan aku ingin berjumpa dengan Tuhanku."

Setelah diizinkan Rasulullah, Khaitsamah bertempur hingga mati syahid dan berjumpa dengan anaknya di syurga.

sumber : 1001 Kisah Teladan.help by heksa

Allah mengabulkan do’a orang yang bertaubat

Di zaman Nabi Daud as, hidup bertahta seorang raja yang zalim sewenang-wenang. Rakyat negeri itu sangat menderita. Mereka lalu datang menjumpai Nabi Daud as dan mengadukan nasibnya. Nabi Daud kemudian memberi petunjuk agar rakyat bersatu padu menentang raja dan kemudia menghukumnya. Rakyat menuruti perintah Daud dan mereka berhasil mematahkan kekuasaan raja. Raja ditangkap dan dihukum dengan jalan mengurungnya lalu diasingkan di puncak gunung.

Dalam kesendiriannya, raja menjadi takut. Tak ada seorangpun yang dapat dimintai pertolongan. Ia kemudian berdoa kepada Allah SWT agar dibebaskan dari kesulitan. Tak ada petunjuk sedikitpun ia peroleh. Raja menjadi kecewa dan berpalinglah ia kepada matahari dan bulan. Ia memohon petunjuk agar terbebas dari kesusahan itu.

“Tuhanku, hamba memohon lindunganmu dari kesulitan yang menimpa hamba”

Tapi tak ada petunjuk yang ia peroleh. Dalam keputusasaan itu, raja kembali berdoa kepada Allah SWT.

“Ya Allah…hamba telah ingkar kepadaMu. Sekarang hamba kembali ke Tuhan Yang Maha Benar. Ya Allah,tolonglah hamba”

Allah yang Maha Pengampun mendengar do’a raja dan Ia mengabulkan do’anya itu. Allah kemudian menurunkan firmanNya,

“Orang ini selalu mengabdi kepada tuhannya, tetapi ia tidak beroleh manfaat dari tuhan-tuhannya itu. Hari ini ia telah kembali kepadaKu dan berdo’a,maka Aku mengabulkannya. Aku mengabulkan doa hambaKu bila ia memohon. Wahai Jibril, bebaskanlah hambaKu ini dan letakkanlah ia diatas bumi dengan selamat.”

Pagi hari berikutnya, rakyat beramai-ramai menuju puncak gunung. Mereka ingin melihat bagaimana keadaan raja zalim itu setelah dikurung seharian.

Ternyata, setelah mereka sampai, raja sudah tidak berada di dalam kurungan lagi. Raja berada diluar kerangkeng itu dengan tak ada kekurangan apapun. Mereka lalu memeriksa kurungan, tetapi tak ada tanda-tanda bahwa raja berhasil merusakkan salah satu bagiannya dan keluar dari sana. Ini adalah peristiwa yang menakjubkan,pikir mereka.

Beramai-ramailah rakyat itu menuju rumah Daud, menceritakan apa yang dilihatnya. Mereka memberitahukan kepada Daud, telah terjadi keajaiban atas diri raja. Daud segera berangkat menuju puncak gunung untuk melihat sendiri cerita rakyat itu. Dan ia pun menyaksikan kejadian itu dengan heran dan takjub. Daud segera sembahyang dua rakaat dan memohon petunjuk.

“Ya Allah,beritahukanlah kepadaku mengenai peristiwa yang menakjubkan ini”.

Allah lalu berfirman kepada daud, “Wahai Daud, hambaKu ini telah memohon perlindungan padaKu. Aku mengabulkan permohonannya itu. Bila Aku tidak mengabulkannya seperti tuhan-tuhannya yang terdahulu itu, lalu apakah bedanya Aku dengan tuhan-tuhannya itu? Aku mengabulkan do’a orang yang mau bertaubat kepadaKu. Wahai Daud, jelaskanlah masalah keimanan kepada orang ini. Tentunya ia akan beriman dengan baik. Aku selalu berkata benar dan memberi petunjuk.”


sumber : alislam.or.id

Akhirnya Dia Mati Seperti Keledai

Kisah ini terjadi di Universitas 'Ain Syams, fakultas pertanian di Mesir. Sebuah kisah yang amat masyhur dan dieksposs oleh berbagai media massa setempat dan sudah menjadi buah bibir orang-orang di sana.

Pada tahun 50-an masehi, di sebuah halaman salah satu fakultas di negara Arab (Mesir-red.,), berdiri seorang mahasiswa sembari memegang jamnya dan membelalakkan mata ke arahnya, lalu berteriak lantang, "Jika memang Allah ada, maka silahkan Dia mencabut nyawa saya satu jam dari sekarang!."

Ini merupakan kejadian yang langka dan disaksikan oleh mayoritas mahasiswa dan dosen di kampus tersebut. Menit demi menitpun berjalan dengan cepat hingga tibalah menit keenampuluh alias satu jam dari ucapan sang mahasiswa tersebut. Mengetahui belum ada gejala apa-apa dari ucapannya, sang mahasiswa ini berkacak pinggang, penuh dengan kesombongan dan tantangan sembari berkata kepada rekan-rekannya, "Bagaimana pendapat kalian, bukankah jika memang Allah ada, sudah pasti Dia mencabut nyawa saya?."

Para mahasiswapun pulang ke rumah masing-masing. Diantara mereka ada yang tergoda bisikan syaithan sehingga beranggapan, "Sesunguhnya Allah hanya menundanya karena hikmah-Nya di balik itu." Akan tetapi ada pula diantara mereka yang menggeleng-gelengkan kepala dan mengejeknya.

Sementara si mahasiswa yang lancang tadi, pulang ke rumahnya dengan penuh keceriaan, berjalan dengan angkuh seakan dia telah membuktikan dengan dalil 'aqly yang belum pernah dilakukan oleh siapapun sebelumnya bahwa Allah benar tidak ada dan bahwa manusia diciptakan secara serampangan; tidak mengenal Rabb, tidak ada hari kebangkitan dan hari Hisab. Dia masuk rumah dan rupanya sang ibu sudah menyiapkan makan siang untuknya sedangkan sang ayah sudah menunggu sembari duduk di hadapan hidangan. Karenanya, sang anak ini bergegas sebentar ke 'Wastapel' di dapur. Dia berdiri di situ sembari mencuci muka dan tangannya, kemudian mengelapnya dengan tissue. Tatkala sedang dalam kondisi demikian, tiba-tiba dia terjatuh dan tersungkur di situ, lalu tidak bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya.

Yah…dia benar-benar sudah tidak bernyawa lagi. Ternyata, dari hasil pemeriksaan dokter diketahui bahwa sebab kematiannya hanyalah karena ada air yang masuk ke telinganya!!.

Mengenai hal ini, Dr.'Abdur Razzaq Nawfal -rahimahullah- berkata, "Allah hanya menghendaki dia mati seperti keledai!."

Sebagaimana diketahui berdasarkan penelitian ilmiah bahwa bila air masuk ke telinga keledai atau kuda, maka seketika ia akan mati?!!!.

(Sumber: Majalah "al-Majallah", volume bulan Shafar 1423 H sebagai yang dinukil oleh Ibrahim bin 'Abdullah al-Hâzimiy dalam bukunya "Nihâyah azh-Zhâlimîn", Seri ke-9, h.73-74)


alsofwah.or.id

Pesankan Saya, Tempat di Neraka!!

Sebuah kisah dimusim panas yang menyengat. Seorang kolumnis majalah Al Manar mengisahkannya...Musim panas merupakan ujian yang cukup berat. Terutama bagi muslimah, untuk tetap mempertahankan pakaian kesopanannnya. Gerah dan panas tak lantas menjadikannya menggadaikan akhlak. Berbeda dengan musim dingin, dengan menutup telinga dan leher kehangatan badan bisa dijaga. Jilbab bisa sebagai multi fungsi.

Dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang, Cairo-Alexandria; di sebuah mikrobus. Ada seorang perempuan muda berpakaian kurang layak untuk dideskripsikan sebagai penutup aurat. Karena menantang kesopanan. Ia duduk diujung kursi dekat pintu keluar. Tentu saja dengan cara pakaian seperti itu mengundang 'perhatian' kalau bisa dibahasakan sebagai keprihatinan sosial.Seorang bapak setengah baya yang kebetulan duduk disampingnya mengingatkan. Bahwa pakaian seperti itu bisa mengakibatkan sesuatu yang tak baik bagi dirinya. Disamping pakaian seperti itu juga melanggar aturan agama dan norma kesopanan.

Tahukah Anda apa respon perempuan muda tersebut? Dengan ketersinggungan yang sangat ia mengekspresikan kemarahannya. Karena merasa privasinya terusik. Hak berpakaian menurutnya adalah hak prerogatif seseorang.

"Jika memang bapak mau, ini ponsel saya. Tolong pesankan saya, tempat di neraka Tuhan Anda!!". Sebuah respon yang sangat frontal. Dan sang bapak pun hanya beristighfar. Ia terus menggumamkan kalimat-kalimat Allah.

Detik-detik berikutnya suasanapun hening. Beberapa orang terlihat kelelahan dan terlelap dalam mimpinya. Tak terkecuali perempuan muda itu. Hingga sampailah perjalanan dipenghujung tujuan. Di terminal akhir mikrobus Alexandria. Kini semua penumpang bersiap-siap untuk turun. Tapi mereka terhalangi oleh perempuan muda tersebut yang masih terlihat tertidur. Ia berada didekat pintu keluar. "Bangunkan saja!" begitu kira-kira permintaan para penumpang.

Tahukah apa yang terjadi. Perempuan muda tersebut benar-benar tak bangun lagi. Ia menemui ajalnya. Dan seisi mikrobus tersebut terus beristighfar, menggumamkan kalimat Allah sebagaimana yang dilakukan bapak tua yang duduk disampingnya.

Sebuah akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan.
Seandainya tiap orang mengetahui akhir hidupnya....
Seandainya tiap orang menyadari hidupnya bisa berakhir setiap saat...
Seandainya tiap orang takut bertemu dengan Tuhannya dalam
keadaan yang buruk...

Seandainya tiap orang tahu bagaimana kemurkaan Allah...
Sungguh Allah masih menyayangi kita yang masih terus dibimbing-Nya.
Allah akan semakin mendekatkan orang-orang yang dekat denganNYA semakin dekat.

Dan mereka yang terlena seharusnya segera sadar...
mumpung kesempatan itu masih ada.


sumber : Cerita dari Mesir "Pesankan Saya, Tempat di Neraka!!"

Jangan benci aku Mama

Oh, Tuhan, ijinkan aku menceritakan hal ini..., sebelum ajal menjemputku...

20 tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh... Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Ditahun kedua setelah Eric dilahirkan sayapun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah...

Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya. Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk.

Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica, Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun..., 2 tahun..., 5 tahun..., 10 tahun... telah berlalu sejak kejadian itu. Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.

Sampai suatu malam... Malam dimana saya bermimpi tentang seorang anak... Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali... Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada mommy!" Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya, "Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?" "Nama saya Elic, Tante." "Eric...? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric???" Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga.

Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu. Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati..., mati..., mati... Ketika tinggal se-inchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, mommy akan menjemputmu Eric...

Sore itu saya memarkir mobil Civic biru saya disamping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. "Mary, apa yang sebenarnya terjadi?" "Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu," tapi aku akan menceritakannya juga dengan terisak-isak... Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang.

Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric... Eric... Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu... Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apapun juga! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya...

Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, sayapun keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau, "Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!" Dengan memberanikan diri, sayapun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?"

Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk!! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, 'Mommy..., mommy!' Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..." Sayapun membaca tulisan di kertas itu... "Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi...? Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom..."

Saya menjerit histeris membaca surat itu. "Bu, tolong katakan...Katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan...!!!" Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

"Nyonya, semua sudah terlambat (dengan nada lembut). Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana... Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana. Nyonya, dosa anda tidak terampuni!"

Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.

Kendi didepan Rumah

Di kota saya, ada sebuah rumah, yang kepada rumah itulah saya selalu dipaksa menoleh jika kebetulan melintas di depannya. Rumah itu sederhana saja. Jadi kalau ia menarik perhatian saya, pasti bukan karena bentuknya, melainkan karena dua kendi yang selalu dipajang di depan, berdekatan dengan jalan raya. Tempat kendi itu berupa tiang dengan rumah-rumahan kecil di pucuknya, dengan atap bertuliskan ''air matang''.

Tak sulit menebaknya, kendi itu memang berisi air minum, yang bebas diakses oleh siapa saja. Bahkan oleh para pejalan kaki bernama entah, yang bahkan air putih pun kesulitan membelinya. Adakah orang sesusah itu ada? Ada.

Pameran kemiskinan adalah sesuatu yang amat nyata di sekitar kita. Jika kita lupa mengingatnya, barangkali karena kemiskinan itu kita tatap dari jendela mobil, dari tembok-tembok rumah kita yang tinggi, dan dari hotel-hotel berbintang tempat kemiskinan sering diseminarkan. Maka, kemiskinan itu ada, cuma tidak terasa. Kita mengerti tidak enaknya, tapi telah lupa rasanya. Maka kepada kemiskinan di sekitar, kita cenderung lupa, bahkan sekadar menaruh kendi di depan rumah sebagai derma.

Di masa kecil saya, pemandangan itu bukanlah derma yang istimewa. Ada sebuah desa yang malah memakainya sebagai semacam tradisi saja. Tapi kini, desa yang mengajarkan tradisi itupun telah kehilangan penerusnya. Desa itu telah berganti generasi yang memilih menjadi orang kota yang pasti mulai sibuk dengan utusan karier dan nasibnya sendiri. Berpikir tentang nasib sendiri pun gelap, apalah artinya berpikir tentang kehausan sesama.

Di kota tempat saya tinggal itu, dari sekitar hampir dua juta penduduk, sepanjang saya tahu, juga cuma ada dua rumah yang melakuan hal yang sama. Dua rumah itulah, jika kebetulan lewat, saya reflek menengoknya. Mengucapkan rasa hormat kepada yang empunya sambil malu pada kealpaan diri sendiri. Di tengah hiruk pikuk kota, dua rumah itu, selalu berhasil mengingatkan diri mereka sendiri atas penderitaan sesama.

Derma itu bisa jadi kecil saja, cuma air putih di dalam sebuah kendi yang isinya tak seberapa. Tapi betapa yang kecil pun saya tak sanggup melakukannya. Di dalam diri saya pasti segera muncul pembelaan, ah jalan derma itu, toh bukan cuma dengan cara menaruh kendi-kendi itu saja. Masih banyak cara, yang menurut kita jauh lebih besar, lebih berguna dan menantang pula. Lalu bayangan saya pun telah terpaku kepada banyak cara yang lebih berguna dan lebih menantang itu.

Sementara ingatan saya telah berlari ke cara derma yang banyak itu, saya lupa meneliti, adakah derma saya sudah sebanyak yang saya bayangkan itu. Jika yang kecil pun terlupa, adakah lagi yang bisa diharap dari yang besar dan banyak. Jangan-jangan yang banyak itu cuma imajinasi, cuma sikap kikir dan tak peduli, yang dikemas dalam cita-cita mulia, yang kemuliaan itu cuma terus akan menjadi cita-cita bahkan hingga saya mati.

Sementara saya mati dengan cita-cita mulia, pemilik kendi-kendi itu, memilih terus menjerang air, menaruhnya di kendi-kendinya, mengisinya jika kosong, dan menaruhnya kembali di jalan untuk ia isi kembali jika kosong. Ia menjerang air, mengisi, mencucinya, dan menaruhnya kembali di tempatnya. Terus, terus dan terus. Barangkali sampai ia sendiri mati.

Sementara ia terus menerus mengisi kendi-kendinya, melayani kehausaan saudaranya yang bahkan air putih pun tak kuat membelinya, saya tetap masih di sini, membayangkan sebuah kemuliaan yang tak pernah benar-benar saya kerjakan.

Selasa, 06 Oktober 2009

Kisah katak Kecil

Pada suatu hari, ada sebuah lomba khusus untuk para katak. Para katak harus menaiki menara yang tingginya 1000 meter. Lombapun dimulai. para katak yang jumlahnya hampir 500, berlari melewati berbagai rintangan. satu per satu katak - katak itu gugur dan tidak bisa melanjutkan lombanya. Setelah beberapa rintangan sudah dilewati, kini para katak harus memanjat menara yang tingginya 1000 meter. sekitar 120 katak saling berlomba memanjat menara itu. satu per satu katak-katak itu mulai berjatuhan. kurang 100 meter, hanya ada 7 katak yang tersisa. para penontonpun berteriak dan ada yang mengatakan, "woy...turun saja, banyak katak yang tidak bisa memanjat menara itu dan jatu mati sia-sia." sampai akhirnya hanya ada satu katak yang berhasil memanjat menara yang tingginya 1000 meter. para penonton pun kagum, dan bertanya-tanya. "kok kamu bisa memanjat menara yang tinggi itu sih..?" katak kecil itu tidak menjawab pertanyaan itu. MENGAPA DEMIKIAN?????????????????????

Jangan Pernah Menyakitiku

Hari-hariku sudah melayang dan jangan kau sakiti aku lagi.