Rabu, 28 Oktober 2009

Telepon dari Ibu

Cerpen: A.S. Laksana


PEREMPUAN itu membaringkan tubuhnya pada kursi panjang di pojok ruangan, di antara peralatan menggambar, jam dinding, botol-botol minuman di atas meja, dan gulungan-gulungan kertas karton yang belum dibereskan. Telinganya mendengar suara kicau burung di belakang rumah. Suaminya tengah menikmati satu permainan di layar komputernya. Permainan baru yang sanggup memaksanya melotot sampai dini hari.

Kepala perempuan itu bertumpu pada tangan kanannya. Tangan kirinya bertengger di atas perut. Ia memejamkan matanya seolah-olah merasakan detak jam di sebelahnya, merasakan angin yang diam di kamar tersebut, merasakan saat yang bergerak. Perempuan itu merasakan apa saja karena malam itu tiba-tiba dia merasa dirinya begitu peka. Pada saat itu ia bahkan mampu menangkap denyut jantung ibunya yang berada ratusan kilometer dari tempatnya berbaring.

Dua minggu yang lalu ibunya menelepon dia dan mengingatkan bahwa sweater-nya ketinggalan. Ini telepon yang pertama setelah sekian lama ia tidak mendengar suara ibunya. Ibunya menanyakan apakah ia perlu mengirimkan sweater tersebut.

"Buat Ibu saja," sahutnya. "Saya masih ada dua lagi."

"Sebetulnya ada juga berkas surat-surat yang harus kukirimkan buatmu. Yang dulu kamu urus itu. Kalau mau bisa kusertakan sekaligus, satu paket," tutur ibunya.

"Surat-suratnya saja dikirim, sweater-nya nggak usah."

"Ya sudah. Kamu sehat, kan, Yun? Cobalah kurangi rokokmu. Terakhir kali di sini, Ibu lihat kau terlalu banyak merokok."

Sweater, surat-surat, rokok! Ah, ibunya membicarakan segala sesuatu yang telah lewat tiga tahun lalu seolah-olah baru terjadi kemarin. Sweater itu ia sudah lupa apa warnanya. Dan ia tidak lagi merokok sejak dua tahun lalu.

Seperti ada seekor serangga yang merambat di jalan darahnya, dan menyelusup ke ulu hati. Ia bertahan dari rasa gatal yang mencakar-cakar emosinya. Apa kabar ibunya?

***

PEREMPUAN itu, ia bernama Yun, kemudian mengalihkan ingatan dari ibunya dan berpikir tentang perjalanan-perjalanan yang pernah dilakukannya. Dua tahun lalu ia melakukan banyak perjalanan ke pedalaman Kalimantan, Irian, Lombok, Sulawesi untuk membikin satu liputan. Tahun ini, ia ingin ke Sumba, tapi belum kesampaian. Perjalanan ke sana mungkin sangat menarik. Tapi kapan ia bisa berangkat? Pekerjaan barunya sebagai orang kantoran tidak pernah memberi kesempatan kepadanya untuk pergi jauh-jauh.

Ia sendiri heran, tiba-tiba memutuskan untuk menjadi orang kantoran. Mungkin karena ia sudah memasuki tiga puluh empat dan membutuhkan kemapanan? Ia tidak pernah yakin sebelumnya bahwa ia bisa betah seharian berada di dalam satu ruangan. Tetapi ternyata ia telah melakukan apa yang ia tak yakin.

Suara komputer yang dimainkan oleh suaminya begitu berisik, mengusir kenangannya tentang perjalanan. Permainan tembak-tembakan yang - ia tidak habis pikir - bisa begitu menyita perhatian suaminya. Ia membuka matanya melihat ke arah lelaki itu.

"Siang tadi datang surat dari Igun," katanya.

"Ia di Hungaria, ya?" tanya suaminya. Mata dan jari-jarinya masih tetap berkonsentrasi penuh pada komputernya.

"Austria."

"Apa katanya?"

"Ia bingung mencari kegiatan yang bisa dilakukannya di luar jam kerja. Yang lainnya persoalan klasik, ia kedinginan di sana. Padahal baru masuk musim gugur. Katanya seperti kalau kita berada di puncak Bromo tanpa sehelai pakaian pun. Eh, kau pernah punya pikiran seperti itu, Do? Naik ke puncak Bromo tanpa sehelai benang pun?"

Malam kian berat dan dingin. Suara anjing melolong di kejauhan. Perempuan itu membayangkan lolong serigala di tengah hutan. Katanya ada juga lolong serigala ketika Kurawa dilahirkan. *) Ia mengelus-elus perutnya yang belakangan mulai terasa mual-mual. Bakal anaknya yang pertama!

Pikirannya meloncat ke hal lain. Hup! Hidup sering dirasakannya sebagai sebuah fait accompli. Seperti roda yang berputar, seperti jarum jam yang selalu kembali ke angka dua belas, ia terus berjalan dan menikung-nikung di lorong-lorong untuk tiba kembali pada sebuah keadaan tanpa pilihan.

Si lelaki mengakhiri sementara permainannya. Ia masuk ke dapur dan keluar lagi dengan secangkir kopi. Lelaki itu selalu membikin kopi untuk dirinya sendiri. Ya, harus ia sendiri yang membikinnya, karena ia tidak bisa mempercayakannya kepada istrinya. Perempuan itu tidak pernah bisa membikin kopi tanpa gula. Menurut istrinya, kopi itu baru bisa dinikmati ketika dicampur dengan gula. Lelaki itu tidak berpendapat demikian. Ia selalu minum kopi tanpa gula.

"Tahu apa yang barusan berkelebat dalam pikiranku, Do?" si perempuan menerkam suaminya dengan pertanyaan sebelum lelaki itu menghadapi layar komputernya lagi.

"Apa?"

"Hidup adalah fait accompli. Lucu, ya? Tiba-tiba saja aku berpikiran seperti itu."

"Kupikir tidak selalu demikian."

"Entahlah. Aku sudah bilang tadi, tiba-tiba saja pikiran itu yang melintas. Aku cuma teringat pada Igun, teringat pada istrinya. Kubayangkan mereka sangat kesepian. Begitu habis menikah, langsung ke luar negeri meninggalkan pergaulan yang akrab dengan teman-teman di sini."

"Kau sendiri bilang itu pilihan mereka. Tidak ada fait accompli dalam kasus ini."

"Maksudku setelah di sana, mereka tak punya pilihan kecuali terus-menerus merasa kangen. Tapi entahlah..."

"Tak ada pilihan kecuali merasa kangen. Wah kau berpikir seperti orang abad pertengahan."

"Apa yang dipikir orang abad pertengahan?"

"Mangan ora mangan asal kumpul."

"Ada satu lagi yang tiba-tiba berkelebat, Do. Kadang-kadang kupikir kau sangat brengsek. "

Perempuan itu masih belum mau melepas anggapannya, ia tetap berpikir bahwa Igun pasti kesepian. Apalagi istrinya. Di negeri orang, tak banyak kenal tetangga, dan hanya menjadi ibu rumah tangga. Duh! Waktu bisa menjadi sangat menyiksa. Angin yang menggigit. Gedung-gedung. Dan kesendirian.

Tapi betulkah demikian? Ia hampir tersenyum sendiri. Kenapa pula ia bersikeras dengan anggapan bahwa Igun dan istrinya pasti menderita kesepian?

"He, aku ingat ini, Do," mendadak ia seperti menemukan sesuatu yang menyenangkan. "Waktu aku ke Kalimantan dengan Igun dua tahun lalu - eh, kau dengar aku, kan? - kau begitu cemburu waktu itu."

Suaminya hanya melenguh. Ia tidak tahu mau menjawab apa.

"Kau jelek sekali waktu itu," lanjut si perempuan.

"Karena kupikir kau begitu asyik dengan dirimu sendiri dan mulai melupakan aku."

"Aku jengkel sekali, kau lihat. Bagaimana mungkin kau bisa tidak percaya padaku?"

***

KEDUA suami-istri itu, mereka menikah dan direkatkan bukan oleh persamaan-persamaan di antara mereka. Keduanya diikat oleh satu perbedaan. Ini yang tiga tahun lalu menyebabkan ketidaksetujuan pada orangtua kedua belah pihak. Dan seperti dua ekor kuda yang menjadi beringas, mereka melompati pagar kandang mereka. Menerjang apa saja. Lari ke padang rumput yang terbuka, di mana mereka menjadi tuan atas percintaan mereka. Mereka tinggalkan keluarga, karena mereka percaya bisa saling membela. Hanya mereka berdua, dan itu cukup.

"Kau tahu, Yun, semula kupikir bisa sangat gampang meninggalkanmu," tutur suaminya suatu hari. "Karena kau beragama lain. Ini yang tadinya akan kujadikan alasan untuk suatu saat lari dari kamu, yaitu bahwa kita tidak mungkin dipersatukan."

"Bagaimana kau bisa mengidap pikiran yang begitu jelek?"

Tapi, begitulah, perjodohan ternyata bisa dimulai bahkan dari satu pikiran yang jelek. Perempuan itu tidak bisa membaca skenario yang direncanakan oleh si lelaki. Ia mengira kawan lelakinya serius mencintai dirinya, karena itu ia cukup melakukan segala sesuatu yang bisa mengimbangi "cinta" yang ditunjukkan kawan lelakinya. Dan si lelaki - terbukti kemudian - tidak bisa dengan gampang mengerjakan apa yang direncanakannya. Lalu mereka menikah di tengah hantaman badai dari dua keluarga.

"Jadi bagaimana kau bisa tidak percaya padaku?"

Karena ketika itu Yun memang terlalu banyak ditugaskan ke pedalaman dan selalu bersama Igun. Bagaimana aku tidak cemburu? Si lelaki memprotes dalam hati. Pedalaman begitu romantis. Jejak yang ditinggalkannya akan membekas sangat kuat. O, aku percaya kepada istriku. Tetapi benci membayangkan ada setan yang selalu mengikuti perjalanannya; aku benci pada godaan setan itu.

Lelaki itu mendekat ke arah istrinya. Langkah kakinya terasa sangat ringan. Disentuhnya perut istrinya seperti ingin mengambil sebagian rasa mual-mual yang dirasai istrinya. Ia ingin berbagi rasa mual itu, yang disebabkan oleh bakal bayi mereka. Anak pertama mereka. O, tidak! Sesungguhnya ini anak mereka yang kedua. Mereka kehilangan yang pertama karena perempuan itu keguguran tahun lalu pada saat ia ditugasi melakukan perjalanan ke luar kota.

"Kita helum punya nama, Do."

" Sudah. "

"Maksudku aku belum punya."

"Kupikir kita pakai nama kakaknya saja."

"Kau malas berpikir. Tapi itu pun boleh."

Lolong anjing di luar itu masih kedengaran.

"Aku tidak ingin mendengar lolong anjing ketika melahirkan anak kita nanti," gumam si perempuan.

"Kau akan melahirkan di rumah sakit."

"Tentu saja. Tapi aku bilang aku tidak ingin mendengar lolong anjing. Tidak ingin! Sebab bisa saja lolong itu terdengar di telingaku sekalipun anjingnya tak ada."

Di matanya, perempuan itu membayangkan Kurawa. Ia tidak ingin kelak anaknya lahir sebagai Kurawa. Ia ingin anaknya lahir sebagai satu kehangatan yang mengantarkan musim semi kepada kelopak bunga-bunga.**)

***

TELEPON berdering dan mendadak Yun diserang rasa mual di perutnya. Suaminya mengangkat gagang telepon. Yun bergegas ke wastafel seraya berharap mudah-mudahan itu telepon dari ibunya lagi. Dua minggu lalu waktunya juga seperti sekarang ini ketika ibunya menelepon. Apakah janin dalam kandungannya ini yang memanggil-manggil neneknya?

"Yun! Dari ibu!" seru suaminya. Yun seperti terbang dari wastafel dan menyergap gagang telepon dari tangan suaminya.

"Eh, Yun, kau sudah bisa bikin kue bolu?" tanya ibunya dari seberang. "Dulu kau pernah menanyakannya ke ibu, kan?"

Kue bolu!

Ini juga sudah lewat ber-tahun-tahun. Dan ia bahkan sudah tidak ingat kapan persisnya ia mengajukan pertanyaan itu kepada ibunya. Tapi malam itu ia bahagia. Anaknya memiliki seorang nenek. Pada saatnya nanti, ia akan bisa menceritakan kepada anaknya tentang neneknya --sebuah akar dari mana pohon keluarga mendapatkan kekuatannya-- yang suka menanyakan hal-hal yang sudah berlalu bertahun-tahun.***

Catatan:
*) Dari sajak Goenawan Mohamad berjudul Penangkapan Sukra.
**) Dari sebuah puisi pada undangan perkawinan.


Cerpen ini dimuat pertama kali di Kompas Minggu, 14 Januari 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar